Tuesday, January 17, 2006

Anez, Asma, Anjing dan Asmara

Oleh : Bambang Haryanto

Amor tussisque non celantur
(Pepatah Latin)



ANJING YANG MEROKOK. Komedian Steve Allen mengidap sakit asma. Tetapi dirinya merasa tidak punya masalah dengan penyakit pernafasan itu. Ia bilang : “Asma bukanlah gangguan bagi saya, kecuali bila saya berdekatan dengan rokok dan anjing. Satu hal yang sangat dan paling mengganggu saya adalah bila anjing-anjing itu merokok pula”

Bagi Riaty, Cresenthya Hartati atau pun Widhiana Laneza, pastilah saya pantas mereka daulat sebagai “anjing yang merokok pula.” Alias sebagai oknum yang berpotensi membahayakan kesehatan mereka.

Karena memang mereka memiliki kesamaan yang saya tidak tahu mengapa terjadi begitu saja : ketiganya sama-sama mempunyai sakit asma. Dan saat itu, saya adalah seorang perokok berat pula.


Perokok dan pengidap penyakit asma, jelas tidak matching. Inilah kemudian ilustrasi dari interaksi yang terjadi : bersama Ria yang saat itu berkuliah di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI, kami pernah melakukan date “aneh” kala mengunjungi pameran buku Ikapi di kompleks Jakarta Fair di sekitar Monas.

Problem pribadi pun segera muncul. Karena memiliki gangguan asma, Ria sangat menderita apabila berdampingan dengan diriku yang juga tidak tahan untuk tidak merokok. Kompromi yang terjadi antara kita adalah : dalam mengelilingi stan-stan, mencari buku-buku kesukaan, kami kemudian memilih saling jalan sendiri-sendiri.

Jalan bareng macam apa pula ini ?


HI-TECH, HI-TOUCH. Acara date aneh itu, secara tak terduga, sebenarnya juga menyelesaikan masalah tambahan lainnya di antara kami. Aku dan Ria, selain untuk buku-buku humor, sebenarnya tidak memiliki selera terhadap subjek buku yang sama. Ria yang beragama Islam, tetapi saat SMP dan SMA ia belajar di sekolah Katholik, menyukai (saat itu) buku-buku agama. Sementara saat itu, tahun 1986, aku menyukai buku-buku komputer.

Begitulah, setelah keliling-keliling pelbagai stan buku secara solo itu berakhir, kami lalu ketemuan lagi. Kami kemudian saling unjuk masing-masing buku yang dibeli, yang segera menampakkan betapa kontras selera kita. Ria dengan buku-buku agama dan saya dengan buku-buku komputer.

Kekontrasan itu memicu saya untuk mengeluarkan canda. Saya merujuk ucapan terkenal futuris John Naisbitt dan Patricia Aburdene dengan buku topnya, Megatrends. yang saat itu lagi berkibar-kibar di dunia.

Dalam buku itu mereka sebutkan bahwa di masa depan akan hadir fenomena hi-tech, hi-touch. Artinya, ketika seseorang semakin terlibat dalam pemanfaatan teknologi-teknologi tinggi maka dirinya akan tergerak pula untuk menjadi semakin relijius.

Canda serius saya : “betapa ramalan Naisbitt dan Aburdene itu bukankah bicara tentang kita, Ria ?” Canda itu saya sampaikan ke Ria dalam bentuk surat. Memang begitulah salah satu ujuad “ritual” antara kami selama ini.

Walau sudah ketemuan, atau telpon-telponan, tetapi untuk hal-hal yang masih perlu diobrolkan, kita senang hati saling menambahkannya dalam bentuk surat-surat yang panjang. Karena Ria suka bilang, “surat-surat Mas Hari sering saya baca tidak hanya satu kali”.

Yang Ria mungkin tidak tahu bahwa dalam menulis surat itu saya harus melek separo malam. Juga menghabiskan rokok berbatang-batang pula.


ORTU TERLALU PROTEKTIF ? Ria sebenarnya belum banyak bercerita mengenai sakit asmanya. Ia juga tidak rewel tentang kebiasaan jelekku, merokok itu. Yang bisa saya kerjakan : saya tidak akan merokok ketika ketemuan sama dia.

Ria adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya seorang pemimpin redaksi sebuah newsletter ekonomi yang terkenal. Kalau di rumah, saat dipanggil oleh ibunya dengan “Ria sayang”, terdengar Ria segera membalasnya : “Ya, mama, sayang”.

Bagi saya, yang berasal dari kultur kota kecil Wonogiri, sahut-sahutan dengan menonjolkan kata “sayang” seperti itu menurut saya rada berlebihan. Silakan mencap saya sebagai kampungan. Mungkin saya sedang mengalami benturan budaya, budaya urban vs. budaya desa.

Tetapi ekspresi kasih sayang yang bagiku rada-rada too much itu, mungkin merupakan wujud sikap orang tua yang terlalu protektif, terlalu melindungi anak-anaknya. Dan ini hanya kabar burung, bukan info medis yang sahih, konon justru sikap orang tua yang terlalu melindungi tersebut merupakan pemicu utama timbulnya penyakit asma pada anak-anak mereka. Itukah pula yang terjadi pada diri Ria ?

Saya tidak tahu.

Dalam suatu kesempatan lain, Ria saya jemput di kampus dan kami bersepakat keluyuran ke Pasar Seni Ancol. Ia nampak menikmati jalan-jalan seperti itu. Ia bilang, sejak SMP ia belum pernah mengalami “kebebasan” seperti ini. Juga menambahkan, kalau saja ketahuan orang tuanya, pasti dirinya akan habis-habisan dimarahi.

Benarkah limpahan kasih sayang yang berlebihan justru menjadi penyebab timbulnya penyakit asma ? Diagnosa yang mungkin, sekali lagi, kampungan. Barangkali yang benar justru yang sebaliknya. Karena anaknya menderita sakit asma, maka kondisi rawan tersebut memicu orang tua untuk memperlakukan anak-anaknya secara ekstra dalam memberikan perhatian, perlindungan dan kasih sayang. Pendekatan yang dapat kita maklumi.


MENGAKU SAKIT ASMA. Diagnosa yang sama mungkin berlaku atau tidak berlalu untuk seorang Cresenthya Hartati. Ia anak terkecil dari enam bersaudara.

Gadis artistik lulusan SMA Tarakanita 2 Pluit Jakarta ini, yang kadang rada-rada reckless, punya tulisan tangan yang indah serta dikaruniai kaki menawan ini, ketika berkuliah di Desain Produksi Universitas Trisakti mengaku memiliki kedekatan dengan mamanya.

Tetapi karena mamanya keburu meninggal dunia saat Hartati masih duduk di sekolah dasar, ia seperti merasakan sebuah “lubang besar”, kekurangan kasih sayang dalam masa-masa ia menginjak dewasa.

“Mas Hari, aku punya sakit asma”, akunya terus terang. Itulah sebagian ritual “buka-bukaan” yang masih saya ingat. Ketika kita bersepakat untuk jadian maka kita saling membuka diri tentang diri kita apa adanya.

Hartati melakukannya secara agak sistematis. Dengan membuka catatan-catatan riwayat pribadi yang ia tulis sendiri. Ia pun menambahkan, “untuk semua sedihku, hanya pernah aku ceritakan kepada kamu.”


Aku kemudian menjadi rada bingung. Dalam kasus Ria, limpahan kasih sayang yang berlebih diduga menjadi penyebab ia menderita asma. Sebaliknya pada kasus Hartati, yang mengalami defisit kasih sayang dari orang tuanya, toh dirinya terus terang mengaku mengidap sakit asma juga. Bagaimana pula ini ?

Baiklah, kebingungan itu biar aku simpan sendiri saja.

Tetapi di sisi lain dari pengakuan Hartati itu, bagi saya, malah terasa sebagai suatu ofensif. Serangan untuk pribadi. Apalagi kemudian, berbeda dengan Ria yang tidak rewel dengan kebiasaan merokok saya, Hartati justru berkali-kali menjadikan topik ini sebagai obrolan.

Misalnya dengan mengirimkan majalah atau guntingan artikel yang membahas mengenai bahaya merokok. “Aku pengin Mas Hari sehat-sehat, juga bisa berumur panjang”, katanya lembut.

Itulah ujud perhatian dia.
Ujud cinta dia.

Tetapi sebagai lelaki, seperti halnya suatu pemerintahan, saya merasa tidak ada yang salah dalam kebiasaan merokok saya. Dengan merokok saya merasa lebih kreatif. Itulah sikap keras kepala. Merasa benar sendiri. Tidak menghargai pendapat pasangan tercinta.

Mungkin situasi yang terjadi antara dia dan saya tersebut mencocoki sebuah tesis bahwa wanita selalu ingin melihat pasangannya berubah, sementara lelaki tidak ingin pasangan perempuannya berubah, tetapi pada akhirnya keduanya hanya akan menjadi kecewa.

Desperado
Why don't you come to your senses
Come down from your fences
Open the gate


Memang sangat sulit merubah keyakinan seseorang. Juga untuk kebiasaan merokok. Seperti lirik lagu “Desperado” dari Eagles (1973), yang juga dinyanyikan oleh kelompok musik favorit saya, Carpenters, perubahan itu hanya bisa dimulai dari “dalam” diri orang bersangkutan

Bajingan tengik,
dengarkan kata hatimu
keluarlah dari pagar yang mengurungmu
dan bukalah pintu gerbangmu


Bujukan Hartati itu akhirnya memang menjadi kenyataan. Saya mau membuka pintu gerbang perubahan dari dalam. Hal itu terjadi ketika suatu malam saya dipaksa berbaring sendirian di rumah sakit. Selang pemasok oksigen terpatok dalam lubang hidung saya dan cemas menyaksikan naik-turunnya grafik denyut jantung pada monitor peralatan eletrocardiograf.

Pengalaman mendebarkan itu mendorong saya rela berjuang untuk berhenti merokok. Dan berhasil. Tetapi semua itu justru terjadi ketika saya dengan Hartati sudah bubaran.


Tetapi ada satu hal penting yang belum pernah Hartati ceritakan kepada saya. Kalau dirinya mengidap sakit asma, mengapa ia memelihara anjing-anjing di rumahnya ? Lebih berbahaya mana antara asap rokok dibandingkan dengan partikel dari bulu-bulu anjingnya ?

Apakah Hartati mencampur adukkan antara alergi dengan asma ? Ia sebenarnya hanya alergi terhadap asap rokok, tetapi tidak dengan bulu-bulu anjingnya, lalu membesar-besarkannya sebagai berpenyakit asma ?


Buku Corinne T. Netzer’s Big Book of Miracle Cures (1999) menjelaskan bahwa alergi dan asma bukan penyakit yang sama. Walau pun demikian, terdapat kaitan erat, tidak hanya gejala dan pengobatannya, tetapi faktanya penderita asma seringkali menderita akibat alergi.

Asma, faktanya, merupakan salah satu ujud alergi (baik alergi terhadap makanan mau pun alergi terhadap zat-zat yang terdapat udara) yang muncul. Walau pun demikian, penting untuk diingat, tidak semua penderita asma itu memiliki alergi.

Perbedaan besar antara asma dan sebagian besar alergi terletak pada tingkat keparahannya. Sementara beberapa alergi (misalnya tersengat lebah) mungkin perlu dirujuk ke unit gawat darurat, tetapi sebagian besar alergi merupakan gangguan kesehatan yang hanya membuat tidak nyaman dan menjengkelkan. Sementara itu, asma merupakan gangguan kesehatan yang kronis dan dapat mengancam jiwa penderitanya.


Gejala umum alergi meliputi : hidung mengeluarkan ingus (cairan bening, kuning pekat atau kehijauan yang mengindikasikan gangguan flu atau infeksi sinus), sesek, bersin-bersin, hidung dan mata gatal, mata berair dan bergetah, kulit secara temporer berbisul, bengkak atau ruam.

Berbeda dari alergi, serangan asma tidak melibatkan organ hidung atau mata, walau pun batuk-batuk di pagi hari merupakan gejala yang umum.. Asma merupakan penyakit saluran udara dari paru-paru yang terkena radang dan iritasi. Ketika serangan terjadi, otot-otot pembuluh tenggorokan berkontraksi, menyempit, menimbulkan gejala utama asma, meliputi : mengi, nafas mencuit-cuit, megap-megap, kesulitan menarik dan menghembuskan nafas, sampai irama bernafas yang cepat dan pendek-pendek.


Pengakuan Hartati mengenai penyakit asmanya, bagi saya, kemudian merupakan teka-teki yang belum terpecahkan. Yang pasti, saya belum pernah satu kali pun mendapati dirinya saat terkena serangan alergi atau pun asma.

Pernah ia agak kolokan, katanya tiba-tiba merasakan melihat objek yang ia pandang menjadi dua. Mirip pandangan seseorang yang mabuk alkohol. Tetapi keluhan aneh Hartati itu tidak perlu berlanjut lama-lama.

Seseorang didekatnya meminta ia memejamkan mata dan segera Hartati mampu melupakan gangguan penglihatan semacam itu. Apalagi ia lalu tenggelam, atau terbang melayang saat merasakan bibirnya dilumat oleh pria yang mencintainya.


ANEZ, ANJING KESAYANGAN DAN ASMA. Pada penghujung Desember 2005, asma tiba-tiba kembali menjadi perhatian yang sangat mengagetkan saya. Pemicunya adalah ketika saya memperoleh kiriman e-mail dari Verdi Amaranto, 22 Desember 2005 yang lalu.

Mas Anto ini adalah kakak tertua dari Widhiana Laneza, atau Anez, wanita indah semampai, yang membuat saya jatuh cinta kepadanya di tahun 1981 sampai tahun 1986.

Anez berkuliah di Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Anez memiliki beberapa ekor anjing kesayangan, baik yang ia beri nama Grigri (jimat dalam bahasa Perancis), Pancho atau Cakil, Bobi sampai Minggo.

Sejak kecil Anez rupanya sudah suka terhadap anjing. Lihatlah, dalam foto di bawah ini yang dijepret di tahun 1969, di Hanoi, Vietnam Utara saat itu.

Image hosted by Photobucket.com

Widhiana Laneza (1969)


Pesona sosok Anez dan relasi uniknya dengan satwa-satwa kesayangannya itu telah memercikkan ilham bagi saya untuk menulis buku kumpulan lelucon satwa, Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Image hosted by Photobucket.com

Buku Untuk Anez.


Anez, anak ketiga dari empat bersaudara Adiknya Liana Rasanti, meninggal dunia saat baru berumur setahun, 1965. Anez memiliki sakit asma. Pertimbangan terkait sakit asmanya itu pula yang membuat Anez memilih bekerja di Bali, dibanding kota Jakarta yang tingkat polusinya begitu tinggi, yang pasti tidaklah ramah bagi penyakit asmanya itu.

Anez, kelahiran Brussels 28 April 1963, meninggal dunia di Jakarta dalam momen yang menggetarkan hati. Yaitu 3 hari setelah pernikahannya, pada tanggal 20 Desember 2005 yang lalu. Apakah Anez meninggal akibat dari sakit asmanya ? Mas Anto belum lagi bercerita. Aku pun hanya bisa menduga-duga.


ANCAMAN ASMA DAN KITA. Di Amerika Serikat, menurut ISL Consulting Co., terdapat sekitar 31,3 juta penderita asma. Angka ini naik dari 26 juta di tahun 1997. Terdapat angka 12 juta serangan sakit asma dalam 12 bulan terakhir.

Sebanyak 9,2 juta penderita asma berumur di bawah 18 tahun. Sebanyak 4,2 juta anak muda menderita asma dalam 12 bulan terakhir. Kematian akibat asma tercatat 4.487 orang, turun dari angka 5.000 di tahun 1997 dan 4.657 di tahun 1999.

Asma merupakan penyakit kronis paling utama yang menyerang anak-anak. Untuk mereka yang berumur 5 sd 17 tahun, asma merupakan penyakit nomor satu yang mengakibatkan mereka mangkir sekolah akibat kekronisan penyakitnya.

Sebanyak 10 juta hari sekolah hilang akibat penyakit asma. Anak-anak penderita asma tergeletak di ranjang sekitar 7,3 juta hari tiap tahunnya.


Untuk mengkampanyekan kesadaran masyarakat luas mengenai asma dan langkah penanggulangannya, telah dicanangkan gerakan Inisiatif Global Penanggulangan Asma (Global Initiative For Asthma /GINA) yang antara lain mencanangkan Hari Asma Sedunia, yang jatuh hari Selasa pertama bulan Mei. Hari Asma Sedunia tahun 2006 jatuh hari Selasa, 2 Mei 2006.

Salah satu gagasan untuk mengkampanyekan kesadaran terhadap asma tersebut, antara lain dengan meluncurkan situs web di Internet yang berisikan edukasi dan petunjuk penanggulangan asma. Juga mengampanyekan lingkungan yang bersih dari asap rokok dan debu pencetus alergi lainnya.

Sebagai orang yang bersyukur bisa berhenti dari kebiasaan buruk merokok dan membanggakannya sebagai salah satu prestasi hebat dalam hidup saya, sejak tahun 1989, maka program-program GINA tersebut menantang saya untuk ikut berperan serta di dalamnya.


UNTUK MENGENANGMU, ANEZ. Mengilas balik hidup saya, ternyata wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta, diakui atau tidak diakui, termasuk yang dalam fase hidupnya pernah mengidap penyakit asma. Untuk mengenang kebaikan mereka mereka, situs blog tentang asma ini saya luncurkan.


Amor tussisque non celantur.
Love and a cough cannot be hid.
Asma dan asmara tidak dapat disembunyikan


Baiklah. Bagi saya kemudian, asmara yang kandas pun juga tidak perlu disembunyikan. Kekasih boleh hilang atau pergi, tetapi cinta tetap bisa abadi. Meninggalnya seorang Mumtaz-i-Mahal telah mampu menggerakkan suaminya, Syah Jehan, membangun Taj Mahal di Agra. Kiranya tak ada salahnya kalau saya membuat satu-dua blog untuk mengenang wanita-wanita terindah yang pernah membuat saya jatuh cinta.

Terutama untuk mengenang almarhumah wanita indah, Widhiana Laneza, blog ini saya beri judul untuk mengabadikan Anez, nama panggilannya :

Anez :
Asthmatics New Environment Zone

Blog ini dicita-citakan sebagai sarana untuk mempromosikan lingkungan baru yang ramah terhadap para penderita asma. Juga diniatkan menjadi salah satu mata rantai yang menghubungkan para penderita asma, keluarganya dan fihak-fihak yang menaruh simpati dan empati, dalam semangat saling asah-asih dan asuh untuk berbagi cerita, solusi, dan terutama saling meneguhkan satu dengan lainnya.

Semoga bermanfaat.


Wonogiri, 16 Januari 2006


PS : Saya bukan seorang dokter. Blog ini berisikan informasi-informasi yang bersifat non-medis. Untuk menanggulangi penyakit asma Anda, pastikan Anda tetap berkonsultasi dengan dokter yang berkompeten.

No comments: